Sabtu, 21 Februari 2015

Sejarah Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi Sungai Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.

Berdirinya Kerajaan Kediri
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.

Pada tahun 1041 atau 963 M Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M). Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi pertikaian.

Sejarah Kerajaan Kediri
Candi Penataran – Bekas Kerajaan Kediri
Sumber: http://www.surabaya.go.id/

Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah peperangan.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha.

Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu/Kediri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga. Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kediri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra. Dan yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri adalah hasil karya berupa kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri/Panjalu atas Jenggala.

Perkembangan Kerajaan Kediri
Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.

Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268 1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.

Perkembangan politik kerajaan kediri
Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.

Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.

Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.

Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.

Sistem Pemerintahan Kerajaan Kediri
Sistem pemerintahan kerajaan Kediri terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan , adapun raja – raja yang pernah berkuasa pada masa kerajaan Kediri adalah:
Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu Jayawarsa adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan prasastinya yang berangka tahun 1104. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu.

Kameshwara
Raja ke dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake Sirikan Shri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, yang lebih dikenal sebagai kameshwara I (1115 – 1130 ). Lancana kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring disebut Candrakapala. Dalam masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah mengubah kitab samaradana. Dalam kitab ini sang raja di puji–puji sebagai titisan dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala.

Jayabaya
Raja kediri ketiga yang bergelar Shri Maharaja Shri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Shri Gandra. Dengan prasatinya pada tahun 1181. Raja Kediri paling terkenal adalah Prabu Jayabaya, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan. Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan ramalannya. Ramalan–ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang.

Prabu Sarwaswera
Sebagai raja yang taat beragama dan budaya, prabu Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya Dikaulah itu, , dikaulah (semua) itu , semua makhluk adalah engkau . Tujuan hidup manusia menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah mooksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan , segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.

Prabu Kroncharyadipa
Namanya yang berarti beteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai plemeluk agama yang taat mengendalikan diri dari pemerintahannya dengan prinsip , sad kama murka, yakni enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu adalah kroda (marah), moha (kebingungan), kama (hawa nafsu),loba (rakus),mada (mabuk), masarya (iri hati).

Srengga Kertajaya Srengga Kertajaya tak henti–hentinya bekerja keras demi bangsa negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat dia harapkan. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang wayang dilukiskan oleh prapanca.

Pemerintahan Kertajaya
Raja terakhir pada masa Kediri. Kertajaya raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang berarti empat jalan yaitu darma, arta, kama, moksa.

Kehidupan sosial masyarakat kerajaan kediri
Kehidupan sosial masyarakat Kediri cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat masyarakat hidup tenang, hal ini terlihat dari rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi, dan berlantai ubin yang berwarna kuning, dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain sampai di bawah lutut. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni dapat berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra. Hal ini terlihat dari banyaknya hasil sastra yang dapat Anda ketahui sampai sekarang.

Hasil sastra tersebut, selain seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya juga masih banyak kitab sastra yang lain yaitu seperti kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis Mpu Panuluh pada masa Jayabaya, kitab Simaradahana karya Mpu Darmaja, kitab Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu Tan Akung, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna dan kitab Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Semuanya itu dihasilkan pada masa pemerintahan Kameswara.

Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.

Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memerhatikan keadaan rakyatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup pesat. Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan. 1. Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
2. Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah).
3. Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi atau masyarakat wiraswasta. Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.
Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara anak-anak selirnya. Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri.

Kondisi Ekonomi pada Jaman Kerajaan Kadiri
Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras, kapas dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, kerajaan Kediri cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya dibayar dengan hasil bumi. Keterangan ini diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.

Karya Sastra dan Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri
Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri diantaranya yaitu:
a. Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atau Kadiri atas Jenggala b. Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 M menjelaskan Panjalu atau Kadiri pada masa Raja Jayabaya.Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang artinya Kadiri Menang.Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang dengan Jenggala.Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui kalau Raja Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.

Prasasti Jepun 1144 M
Prasasti Talan 1136 M Seni sastra juga mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan,kemenangan.

Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.

Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.

Di samping kitab sastra maupun prasasti tersebut di atas, juga ditemukan berita Cina yang banyak memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kediri yang tidak ditemukan dari sumber yang lain. Berita Cina tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-ta yang ditulis oleh Cho-ku-Fei tahun 1178 M dan kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 M. Dengan demikian melalui prasasti, kitab sastra maupun kitab yang ditulis orang-orang Cina tersebut perkembangan Kediri.

Runtuhnya Kediri
Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya , terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok , akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Dalam pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan Kediri.

Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.

Kamis, 19 Februari 2015

Sejarah Gereja Blenduk Semarang

Gereja Blenduk Semarang merupakan Gereja yang dibangun pada 1753 ini merupakan salah satu landmark di Kota Lama. Berbeda dari bangunan lain di Kota Lama yang pada umumnya memagari jalan dan tidak menonjolkan bentuk, gedung yang bergaya Neo-Klasik ini justru tampil kontras. Bentuknya lebih menonjol . Lokasi bangunan ini berada di Jalan Letjend Suprapto No 32 Kota Lama Semarang dan bernama Gereja GPIB Immanuel. Bangunan gereja yang sekarang merupakan bangunan setangkup dengan facade tunggal yang secara vertikal terbagi atas tiga bagian. Jumlah lantainya adalah dua buah. Bangunan ini menghadap ke Selatan. Gereja ini masih dipergunakan untuk peribadatan setiap hari Minggu. Di sekitar gereja ini juga terdapat sejumlah bangunan lain dari masa kolonial Belanda seperti Gedung Marba. Bangunan kuno ini juga sering menjadi salah satu tempat untuk foto foto Pre Wedding.

Gereja Protestan yang lazim disebut Gereja Blenduk nama ini diberikan merunut pada bentuk kubahnya yang dalam bahasa Jawa disebut Blenduk (menggembung), sampai sekarang nama asli gereja ini tidak diketahui.

Baca juga : Sejarah Kota Lama Semarang

Mula-mula Gereja di bangun pada tahun 1753, berbentuk rumah panggung Jawa, dengan atap berarsitektur model Jawa. Pada tahun 1787 rumah panggung ini dirombak total. Tujuh tahun berikutnya diadakan kembali perubahan. Pada tahun 1894, gedung ini dibangun kembali oleh H.P.A. de Wilde dan W.Westmas. Gereja ini dibangun pada abad ke-17 dan telah mengalami 3 kali renovasi, yaitu pada tahun 1753, 1894 dan terakhir tahun 2003.

Sejarah Gereja Blenduk Semarang
Gereja Blenduk Semarang
Sumber: http://www.google.com/

Setiap renovasi diabadikan lewat tulisan di atas batu marmer yang terpasang di bawah alter gereja. Renovasi-renovasi tersebut sama sekali tidak merubah ciri khas bangunan yang mengadopsi gaya arsitektur Eropa klasik yang anggun dan aristokrat.

Gereja Blenduk memiliki denah octagonal atau segi delapan beraturan dengan ruang induk di tengah, tepat di bawah kubah. Di bagian atas gereja, tepatnya di balkon masih terlihat organ (orgel) peninggalan jaman Belanda yang sudah berusia ratusan tahun. Sayang orgel ini sudah tidak bisa difungsikan lagi sebagai pengiring saat jemaah gereja bernyanyi.

Sejarah Benteng Portugis Jepara

Benteng Portugis adalah salah satu objek wisata andalan di Jepara adalah Benteng Portugis yang terletak di Desa Banyumanis Kecamatan Donorojo atau 45 km di sebelah timur laut Kota Jepara, dan untuk mencapainya tersedia sarana jalan aspal berbatu dan hanya dapat dicapai menggunakan kendaraan pribadi dikarenakan tidak ada rute transportasi umum ke situs sejarah ini.

Dilihat dari sisi geografis benteng ini tampak sangat strategis untuk kepentingan militer khususnya zaman dahulu yang kemampuan tembakan meriamnya terbatas 2 s/d 3 km saja. Benteng ini dibangun di atas sebuah bukit batu di pinggir laut dan persis di depannya terhampar Pulau mondoliko, sehingga praktis selat yang ada di depan benteng ini berada di bawah kendali Meriam Benteng sehingga akan berpengaruh pada pelayaran kapal dari Jepara ke Indonesia bagian timur atau sebaliknya.

Sejarah kelam penjajahan terhadap bangsa ini memang meninggalkan cerita yang luar biasa. Meski itu sudah berjalan beberapa tahun yang lalu dan hampir dipastikan pelaku sejarah atau saksi sejarah sudah tidak ada lagi, tapi beberapa peninggalan penjajah di negeri ini masih bisa kita lihat keberadaannya.

Dalam Sejarah Benteng Portugis tercatat bahwa Benteng ini pernah digunakan oleh dua masa penjajahan dan negara yang berbeda yaitu oleh pendirinya sendiri, Bangsa Portugis sekitar abad 16 dan masa pendudukan Jepang saat Perang Dunia ke II abad 20. Sejarah Pembangunan Benteng Portugis ini dibangun tidak lepas karena keinginan Kerajaan Mataram untuk mengalahkan VOC (Belanda) yang akhirnya meminta bantuan kepada pihak ketiga yang bermusuhan dengan Belanda yaitu Portugis.

Sebelumnya diceritakan Pada tahun 1916 Kota Sunda Kelapa / Jayakarta diduduki oleh VOC Belanda dan merupakan awal pendudukan Imperialis Belanda atas Bumi Indonesia. Sultan Agung yang saat itu merupakan Raja Kerajaan Mataram Islam merasa bahwa keberhasilan Belanda menguasai Jayakarta akan mengancam kekuasaan Mataram. Sehingga Sultan Agung berinisiatif untuk menyerang Belanda dengan mempersiapkan armada perangnya untuk menyerang kota Jayakarta yang diduduki oleh VOC Belanda.

Masa penyerangan Sultan Agung terhadap VOC berlangsung selama 2 tahun berturut-turut, yaitu antara 1628 sampai 1629 tapi kekalahan diderita oleh pihak Mataram. Atas kekalahan tersebut Sultan Agung berfikir bahwa kemenangan atas Belanda dapat diraih jika serangan dilancarkan dari dua arah secara bersamaan yaitu dari darat dan laut. Sedangkan pasukan Mataram hanya mahir dalam peperangan di darat. Untuk itulah Sultan Agung meminta bantuan kepada Bangsa Portugis yang saat itu adalah seteru dari VOC. Itulah sebabnya kenapa ada Benteng Portugis di kota Jepara.

Sejarah Benteng Portugis Jepara
Benteng Portugis
Sumber: http://www.google.com/

Bangsa Portugis hanya sebentar menempati benteng ini. Ada dua versi cerita yang membuat Portugis meninggalkan benteng ini. Versi pertama, Banyaknya korban yang berjatuhan serta menghilang secara misterius dari Bangsa Portugis memaksa Portugis meninggalkan Benteng ini. Konon di sekitar Pulau Mandalika tardapat pusaran air laut yang menurut cerita rakyat, pusaran air itu adalah pintu gerbang Keraton Luweng Siluman yang di rajai oleh siluman Buaya Putih.

Siluman Buaya Putih pernah bersumpah setelah dikalahkan oleh Ki Leseh bahwa, siapapun orang yang berkulit putih seperti dengan warna kulitnya akan disedot dalam pusaran air lauh hingga orang tersebut hilang entah kemana. Karena seringnya kejadian misterius itu ditambah dengan cerita rakyat sekitar yang mulai dipercaya oleh Bangsa Portugis membuat mereka meninggalkan benteng tersebut. Meski itu hanya cerita rakyat atau mitos tapi setidaknya itulah saat ini salah satu cerita yang dipercaya oleh masyarakat sekitar.

Versi kedua adalah, Dahulu jalur perdagangan Kerajaan Demak masih dipusatkan melalui laut jawa. Tapi seiring perpindahan pusat kerajaan Demak Ke Pajang sehingga jalur perdagangan dilaut jawa menjadi sepi karena rata-rata pedagang mengalihkan jalur pengiriman dagangan mereka lewat jalur darat. Hal itulah yang membuat Portugis meninggalkan benteng tersebut begitu saja dan dibiarkan begitu saja tanpa diurus dan ditumbuhi semak belukar dan tumbuhan liar.

Saat masa perang dunia II, Jepang menduduki Indonesia dan menempati benteng itu kembali sebagai tempat pengintaian atas musuh-musuh mereka dari jalur laut jawa. Penjajah Jepang mempekerjakan penduduk sekitar dengan sistem romusha (kerja paksa)untuk membersihkan benteng, menara yang sudah rusak dibangun lebih tinggi lagi serta rumah dibagian tengah benteng dibangun kembali sebagai tempat tinggal petugas pengintai.

Dibawah menara dibangun sebuah terowongan yang bisa tembus ke pantai untuk mempercepat tugas pengintai yang bertugas di benteng ini jika hendak pergi ke pantai. Jepang memanfaatkan benteng ini sampai mereka kalah dalam Perang Dunia Ke II setelah kota Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh sekutu (Amerika) hingga memaksa mereka angkat kaki dari Indonesia.

Itulah Sejarah Benteng Portugis Jepara yang bisa saya ulas di sini dan semoga bermanfaat.

Sejarah Kota Lama Semarang

Semarang adalah salah satu kota terbesar di Jawa, di kota ini banyak terdapat peninggalan sejarah, baik dari zaman hindu buddha maupun kolonial. Beberapa yang masih tersisa peninggalan sejarah adalah Gereja Blenduk, Candi Gedong Songo, Lawang Sewu, Sam Poo Kong dan lain – lain. Bangunan - bangunan tersebut masih terjaga keasliannya walaupun ada beberapa yang tak terawat. Kota Lama merupakan salah satu peninggalan dari bangunan – bangunan kolonial yang ada di Semarang. Bangunan – bangunan tua berarsitektur Belanda masih tegak berdiri disini. Terdapat juga kanal - kanal yang mengitari bangunan Kota Lama seakan – akan kita melihat Belanda kecil (Little Netherland) di kota Semarang.

Salah satu bangunan yang wajib anda kunjungi apabila di Kota Lama adalah Gereja Blenduk. Gereja ini memiliki keunikan yaitu adanya sebuah kubah yang umumnya berada di sebuah Masjid. Gereja yang bernama asli bernama Nederlandsch Indische Kerk ini masih dipergunakan untuk tempat peribadatan. Karena masyarakat sekitar kesulitan menyebutkan nama Belanda lalu masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama Gereja Blenduk. Nama ini berdasarkan kubah atas gereja tersebut yang berbentuk “belenduk” berwarna merah bata dengan kekhasannya yang terdapat dua menara tepat di depan kubah Gereja Blenduk.

Baca juga : Sejarah Bangunan Lawang Sewu Semarang

Selain Gereja Blenduk yang mengalami perubahan nama, jembatan yang tepat berada di selatan kota lama yang bernama belanda Gereja Burg juga berubah nama menjadi Jembatan Berok karena sulitnya mengatakan nama Belanda oleh orang – orang pribumi. Jembatan ini dahulu bisa buka tutup, karena pada saat zaman kolonial jembatan ini sebagai jalan penghubung dari laut hingga ke Pasar Johar dengan menggunakan kapal – kapal kecil.

Sejarah Kota Lama Semarang
Gereja Blenduk Semarang
Sumber: http://www.google.com/

Di seberang Gereja Blenduk terdapat sebuah bangunan yang sekarang digunakan sebagai gedung asuransi. Orang – orang sering menyebutnya dengan nama Gedung Jiwasraya sedangkan baratnya terdapat sebuah restoran ikan bakar cianjur. Selain bangunan – bangunan tersebut terdapat juga bangunan lain diantarany anguna Gedung Marabunta dengan ornamen semut raksasa yang berada diatapnya, tempat ini pernah dilangsungkan sebuah aksi spionase oleh seorang mata – mata wanita cantik yang bernama Matahari. Selain itu ada juga sebuah stasiun yang bernama Stasiun Tawang yang masih terawat dan masih di operasikan, serta sebuah kolam yang bernama Polder Air Tawang yang digunakan untuk penyetabil masuk keluarnya air laut dan pengendali banjir. Ada juga sebuah bangunan pabrik rokok yang masih sangat terawat yang berwarna merah putih yaitu Pabrik Rokok Praoe Lajar. Selain bangunan bangunan tersebut, bangunan lainnya diantaranya Gedung Marba, Kantor Pos Pusat, Samudera Indonesia, Djakarta Lloyd serta Titik Nol KM Semarang.

Sejarah Kota Lama
Kota lama dapat terbangun karena adanya jasa Belanda terhadap Mataram yang mampu menumpas pemberontakan Trunojoyo pada 15 Januari 1678. Mataram berjanji apabila VOC mampu mengalahkan Trunojoyo maka Mataram menyerahkan daerah Pantai Utara Jawa kepada pihak VOC. Kemudian dibangunlah Semarang dengan diawali dengan dibangunnya sebuah benteng bernama Vijfhoek yang pada awalnya digunakan sebagi rumah – rumah orang Belanda. Populasi orang Belanda semakin lama semakin bertambah sehinga mengharuskan Belanda membangun rumah – rumah serta perkantoran yang erada di sebelah timur benteng.

Sejarah Kota Lama Semarang
Kota Lama Semarang
Sumber: http://www.google.com/

Pada 1740 sampai 1743 terjadilah sebuah peristiwa besar yang bernama Geger Pecinan. Peristiwa ini adalah peristiwa terbesar hingga VOC menduduki kawasan tersebut. Setelah perlawanan tersebut dapat dipadamkan, orang - orang Belanda membangun sebuah fortifikasi (perbentengan) yang mengelilingi Kota Lama. Karena tidak sesuain dengan perkembangan kota maka fortifikasi tersebut di bongkar pada 1824. Untuk mengenang benteng tersebut maka pemerintah Belanda membuat nama - nama jalan kota lama menggunakan nama seperti

Noorderwalstaat atau Jalan Tembok Utara atau sekarang dikenal dengan Jalan Merak
Oosterwalstraat atau Jalan Tembok Timur yang sekarang dikenal dengan nama Jalan Cendrawasih
Zuiderwalstraat atau Jalan Tembok Selatan yang lebih dikenal dengan nama Jalan Kepodang serta,
Westerwaalstraat atau Jalan Tembok Barat yang lebih dikenal dengan nama Jalan Mpu Tantular

Sejarah Kota Lama Semarang
Kota Lama Semarang
Sumber: http://www.google.com/

Keberadaan kawasan komplek Kota Lama kemudian dikenal dengan Little Netherland karena kawasan ini lebih mirip miniatur Belanda di Kota Semarang. Pusat Kota Lama berada di Taman Srigunting. Dahulu taman ini adalah sebuah lapangan bernama parade plein, diperkirakan dahulu sering digunakan untuk parade militer karena tak jauh dari tempat ini terdapat sebuah barak militer. Sebelum menjadi lapangan, fungsi taman ini dahulu adalah sebuah tempat pemakaman warga Eropa atau bernama Kerkhof. Sebelum abad 19 Kerkhof dipindah dipindah ke daerah Pengapon.

Asal Usul Kota Kebumen Jawa Tengah

Sejarah dan asal usul Kebumen sangat erat hubungannya dengan kerajaan Mataram Islam di Nusantara. Dalam sejarah masa lampau, Kebumen menjadi bagian dari daerah Manca Negara Kulon atau disebut wilayah kademangan karanglo yang masih di bawah kekuasaan Mataram. Peristiwa yang dialami Mataram memberi pengaruh besar terbentuknya Kabupaten di Jawa Tengah ini.

Ada beberapa versi tentang Penetapan Hari Jadi Kebumen, berdasarkan Perda Kab. Kebumen nomor 1 tahun 1990 menjelaskan bahwa Kebumen memiliki sejarah yang terbagi dalam tiga versi. Namun, di sini kami merekomendasikan Versi ke III yang sangat erat hubungannya dengan sejarah Kebumen sendiri.
Asal Usul Kota Kebumen Jawa Tengah
Logo Kabupaten Grobogan
Sumber: https://www.google.com/

Asal Usul

Nama Kebumen berawal dari adanya seorang tokoh Kyai Pangeran Bumidirja. Beliau seorang bangsawan ulama dari Kerajaan Mataram yang merupakan adik dari Sultan Agung Hanyokro Kusumo. Kyai Pangeran Bumidirja adalah penasihat raja, yang selalu memberikan saran jika sang raja bertindak melebihi batas kekuasaannya. Ia adalah seorang penasehat yang jujur dan bijaksana dalam memberikan masukan kepada sang raja pada saat itu.

Suatu ketika, Kyai Pangeran Bumidirjo memperingatkan keponakannya, yaitu Sunan Amangkurat I karena telah melanggar pangeran keadilan dalam bertindak keras dan kejam. Bahkan, ia juga berkompromi dengan VOC Belanda untuk kejahatan, serta memusuhi bangsawan, ulama' dan rakyat kecil.

Peringatan tersebut justru membuat Sunan Amangkurat I marah dan merencanakan akan membunuh Kyai Pangeran Bumidirja. Untuk menghadapi hal itu, Kyai Pangeran Bumidirjo memiliki inisiatif pergi untuk meloloskan diri dari hukuman yang akan dilakukakn oleh sunan Amangkurat I. Dalam perjalanan meloloskan diri, ia tidak memakai nama bangsawannya namun mengganti nama menjadi Kyai Bumi.

Dalam perjalanan, Kyai Pangeran Bumidirjo sampai ke daerah Panjer kemudian mendapat hadiah sebidang tanah sebelah utara sungai Lukulo. Pada tahun 1670 ia membangun padepokan/pondok yang dikenal dengan nama Ki bumi atau Ki-Bumi-An dan menjadi KEBUMEN.

Bila kelahiran Kebumen diambil dari segi nama, maka versi Kyai Pangeran Bumidirjo yang harus dipakai untuk memperringati hari jadi Kebumen pada tanggal 26 Juni 1677.

Asal Usul Kota Batang Jawa Tengah

Batang adalah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Batang. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Kendal di timur, Kabupaten Banjarnegara di selatan, serta Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan di barat.

Kota Batang belum banyak dikenal luas oleh masyarakat umum, hal ini dapat dilihat masih banyak yang bertanya Batang itu mana?. Salah satunya disebabkan karena masih banyaknya masyarakat Batang itu sendiri ketika berpergian keluar kota apabila ditanya orang dari daerah mana asalnya masih banyak yang menjawab dari Pekalongan, mungkin karena pusat kota nya yang sangat dekat dengan kota Pekalongan sehingga masyarakat lebih mengenal kota Pekalongan daripada Batang nya sendiri.

Kota Batang merupakan kota kecil yang masuk dalam lingkup Provinsi Jawa Tengah, dengan luas daerah 788.642,16 km2.

Asal Usul Kota Batang Jawa Tengah
Logo Kabupaten Batang
Sumber: http://batangkab.go.id/

Menurut Legenda yang sangat populer batang berasal dari kata = Ngembat - Watang yang berarti mengangkat Batang kayu.

Konon pada waktu Mataram mempersiapkan daerah-daerah pertanian untuk mencukupi persediaan beras bagi para prajurit Mataram yang akan mengadakan penyerangan ke Batavia, Tumenggung Bahurekso mendapat tugas untuk membuka alas roban untuk dijadikan daerah persawahan, alas roban yang merupakan hutan yang masih perawan, lebat dan menyeramkan di huni oleh Jin dan Siluman-siluman. Dan Tumenggung Bahurekso sempat mendapat gangguan oleh para penghuni alas roban tersebut, Para pekerja yang menebang hutan alas Roban banyak yang sakit dan meninggal namun dengan kesaktiannya gangguan itu dapat teratasi.

Setelah Alas Roban dibuka tugas selanjutnya dari Bahurekso adalah mengusahakan pengairan atas lahan yang telah dibuka itu, kemudian beliau membuat bendungan yang sekarang dinamakan bendungan kramat, ketika bendungan itu telah selesai dibuat, bendungan selalu jebol dan dirusak oleh anak buah siluman Uling, hal ini memaksa Tumenggung Bahurekso untuk menyerang para Siluman Uling yang bermarkas di sebuah Kedung sungai, dan dengan kesaktiannya para siluman ini dapat dikalahkan.

Asal Usul Kota Batang Jawa Tengah
Kantor Bupati Batang
Sumber: http://www.google.com/

Tetapi walupun para siluman uling ini telah dikalahkan air yang keluar dari bendungan tidak selalu lancar, kadang besar dan kadang-kadang kecil bahkan tidak mengalir sama sekali. Setelah di teliti ternyata ada Batang Kayu (watang) besar yang melintang dan menghalangi aliran air. Berpuluh orang disuruh mengangkat dan memindahkan Watang (batang kayu) tersebut namun tidak berhasil.

Akhirnya Bahurekso sendiri yang turun tangan, dan dengan sekali embat patahlah Watang (batang kayu) tersebut. Dan dari peristiwa ngembat watang itulah kemudian terukir nama Batang, yang berasal dari kata ngemBAT waTANG, orang Batang sendiri sesuai dengan dialeknya menyebutnya MBATANG.

Sumber: https://www.google.com/

Sejarah Kerajaan Demak

Kerajaan Demak mulanya merupakan sebuah kadipaten yang berada di bawah kekuasaan dari Kerajaan majapahit. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh, Demak lalu mulai memisahkan diri dari Ibu Kota di Bintoro. Kerajaan Demak merupakan kerajaan islam pertama yang ada di Pulau Jawa.

Kerajaan Demak pertama kali didirikan oleh Raden Patah. Kerajaan demak memiliki lokasi yang sangat strategis karena terletak antara pelabuhan bergota dari kerajaan Mataram Kuno dan Jepara, kedua tempat inilah yang telah membuat Demak menjadi kerajaan dengan pengaruh sangat besar di Nusantara.

Kerajaan Demak didirikan oleh raden Patah asal yang masih keturunan dari Majapahit dengan seorang putri dari Campa.
Daerah kekuasaan dari Kerajaan Demak mencakup Banjar, Palembang dan Maluku serta bagian utara pada pantai Pulau Jawa.

Sejarah Kerajaan Demak
Kerajaan Demak
Sumber: https://www.google.com/

Kehidupan Politik Kerajaan Demak
Raja pertama dari Kerajaan Demak ialah Raden Patah yang bergelar Senapati Jumbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.

Pada tahun 1507, Raden Patah turun tahta dan digantikan oleh seorang putranya yang bernama Pati Unus. Sebelum diangkat menjadi Raja, Pati Unus sebelumnya sudah pernah memimpin armada laut kerajaan Demak untuk menyerang Portugis yang berada di Selat Malaka.

Baca juga : Sejarah Bangunan Masjid Agung Demak

Sayangnya, usaha Pati Unus tersebut masih mengalami kegagalan. Namun karena keberaniannya dalam menyerang Portugis yang ada di Malaka tersebut, akhirnya Pati unus mendapat julukan sebagai Pangeran Sabrang Lor.

Lalu pada tahun 1521, Pati Unus wafat dan tahtanya digantikan oleh adiknya yang bernama Trenggana. Pada masa inilah kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya.

Setelah berkuasa, lalu Sultan Trenggana mulai melanjutkan upaya dalam menahan pengaruh dari Portugis yang sedang berusaha untuk mengikat kerjasama bersama kerajaan Sunda atau Pajajaran.

Kala itu, Raja Samiam yang berasal dari kerajaan Sunda sudah memberikan izin untuk mendirikan kantor dagangnya di Sunda Kelapa. Oleh karena itu, Sultan Trenggana akhirnya mengutus Fatahillah atau Faletehan untuk bisa mencegah supaya Portugis tidak dapat menguasai wilayah Sunda Kelapa dan Banten.

Sunda Kelapa merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda. Pada waktu itu, Portugis membangun benteng yang ada di Sunda Kelapa. Namun, kerajaan Demak tak senang dengan adanya keberadaan orang-orang Portugis tersebut.

Akhirnya, Fatahillah lalu berhasil dalam mengalahkan Portugis. Banten dan Cirebon akhirnya dapat dikuasai oleh Fatahillah bersama pasukannya.

Karena jasanya ini, untuk mengenang kemenangan tersebut maka Sunda Kelapa lalu diganti namanya menjadi Jayakarta pada tanggal 22 Juni 1527. Kejadian itu membuat Sultan Trenggana menjadi Raja terbesar yang ada di Demak.

Pasukan Demak mulai terus bergerak menaklukan pedalaman dan berhasil dalam menundukkan sebagian wilayah yang berada di Timur.

Daerah-daerah yang masih memiliki kerajaan Hindu dan Buddha yang berada di Jawa Timur lalu satu persatu dikalahkan yakni Wirosari dan Tuban pada tahun 1528, Madiun pada tahun 1529, Lamongan, Blitar, Pasuruan dan Wirosobo pada tahun 1541 sampai dengan 1542.

Mataram, Madura dan Pajang pun akhirnya jatuh kedalam kekuasaan kerajaan Demak. Demi dapat memperkuat kedudukannya maka Sultan Trenggana mengawinkan putrinya dengan Pangeran Langgar yang menjabat Bupati Madura.

Selanjutnya, Putra Bupati Pengging yang bernama Tingkir juga diambil menjadi menantu Sultan Trenggana dan ia diangkat menjadi Bupati di Pajang.

Pada tahun 1546, Sultan Trenggana menemui ajalnya di medan pertempuran ketika melancarkan penyerangan di Pasuruan. Sejak Sultan Trenggana wafat, Kerajaan Demak dilanda persengketaan dalam memperebutkan kekuasaan yang berada di kalangan keluarga kerajaan.

Pengganti Sultan Trenggana seharusnya ialah Pangeran Mukmin atau Pangeran Prawoto selaku putra tertua dari Sultan Trenggana , namun kemudian Pangeran Prawoto dibunuh oleh Bupati Jipang yaitu Arya Penangsang.

Kemudian, tahta kerajaan Demak akhirnya diduduki oleh Arya Penangsang. Namun keluarga kerajaan ternyata tidak menyetujui atas naik tahtanya Arya Penangsang menjadi Raja. Lalu akhirnya Arya penangsang berhasil dikalahkan oleh kerajaan Demak berkat bantuan dari Jaka Tingkir. Sejak saat itu wilayah kerajaan Demak dipindahkan ke Pajang.

Kerajaan Demak telah menjadi salah satu pelabuhan terbesar yang ada di Nusantara, Demak memegang peran yang sangat penting dalam aktivitas perekonomian antarpulau.

Demak memiliki peran yang penting karena memiliki daerah pertanian yang lumayan luas dan menjadi penghasil bahan makanan seperti beras. Selain itu, perdagangannya juga semakin meningkat. Barang yang banyak diekspor yaitu Lilin, Madu dan Beras.

Baca juga : Sejarah Kerajaan Banten

Barang-barang tersebut lalu diekspor ke Malaka melalui Pelabuhan Jepara. Aktivitas perdagangan Maritim tersebut telah menyebabkan kerajaan demak mendapat keuntungan sangat besar. Banyak kapal yang melewati kawasan laut jawa dalam memasarkan barang dagangan tersebut.

Dalam kehidupan sosial dan budaya, rakyat kerajaan Demak sudah hidup dengan teratur. Roda kehidupan budaya dan sosial masyarakat Kerajaan Demak sudah diatur dengan hukum Islam sebab pada dasarnya Demak ialah tempat berkumpulnya para Wali Sanga yang menyebarkan islam di pulau Jawa.

Adapun sisa peradaban dari kerajaan Demak yang berhubungan dengan Islam dan sampai saat ini masih dapat kita lihat ialah Masjid Agung Demak. Masjid tersebut merupakan lambang kebesaran kerajaan Demak yang menjadi kerajaan Islam Indonesia di masa lalu.

Selain memiliki banyak ukiran islam (kaligrafi), Masjid Agung Demak juga memiliki keistimewan, yaitu salah satu tiangnya terbuat dari sisa sisa kayu bekas pembangunan masjid yang disatukan.

Selain Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga adalah yang mempelopori dasar-dasar perayaan Sekaten yang ada dimasa Kerajaan Demak. Perayaan tersebut diadakan oleh Sunan Kalijaga dalam untuk menarik minat masyarakat agar tertarik untuk memeluk Islam.

Perayaan Sekaten tersebut lalu menjadi sebuah tradisi atau kebudayaan terus menerus dipelihara sampai saat ini, terutama yang berada didaerah Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta.

Raja-raja Kerajaan Demak
  1. Raden Patah (1478-1518)
  2. Pati Unus (1518-1521)
  3. Trenggana (1521-1546)
  4. Sunan Prawoto (1546-1549)
Benda-benda Peninggalan Kerajaan Demak
  1. Masjid Agung Demak
  2. Pintu Bledek
  3. Soko Tatal dan Soko Guru
  4. Bedug dan Kentongan
  5. Situs Kolam Wudlu
  6. Maksurah
  7. Dampar Kencana
  8. Piring Campa

Rabu, 18 Februari 2015

Asal Usul Goa Kreo Semarang

Legenda Gua Kreo tak terpisahkan dengan legenda asal mula nama Jatingaleh, sebuah kelurahan di lereng Bukit Gombel, Kecamatan Candisari, Kota Semarang. Dikisahkan, dahulu seorang wali yang punya kemampuan lebih, seperti Sunan Kalijaga, dapat berkomunikasi dengan tumbuhan dan binatang. Bahkan, ada pula pohon-pohon yang dipercaya bisa berpindah tempat.

Menurut legenda, kayu jati yang akan digunakan sebagai salah satu saka guru Masjid Agung Demak, adalah potongan kayu dari pohon jati yang berada di lereng Bukit Gombel. Ajaibnya, sewaktu Sunan Kalijaga akan mengambil kayu jati di kawasan tersebut, ternyata pohon jati itu sudah tidak ada dan berpindah tempat.

Sunan Kalijaga kemudian mencari ke mana pohon jati itu berpindah. Beliau pun terus mencari sampai ke hutan yang saat ini dikenal sebagai kawasan Gua Kreo. Sedangkan tempat asal pohon jati itu kemudian diberi nama Jatingaleh (bahasa jawa) yang artinya ”jati berpindah”.

Asal Usul Goa Kreo Semarang

Akhirnya Sunan Kalijaga menemukan kayu jati yang berpindah itu, tetapi berada di tempat yang sulit untuk diambil. Beliau kemudian bersemedi didekat sebuah gua, hingga datang empat ekor kera, masing-masing berbulu merah, kuning, putih, dan hitam. Kera-kera itu menyampaikan niat baik ingin membantu Sunan Kalijaga mengambil kayu jati yang diinginkan. Sunan Kalijaga menerima bantuan mereka dengan senang hati, akhirnya kayu jati itu berhasil diambil dari tempat yang sulit.

Saat Sunan Kalijaga dan sahabat-sahabatnya hendak membawa kayu jati itu ke Kerajaan Demak untuk dibuat saka guru Masjid Agung Demak, keempat kera itu menyatakan ingin ikut serta. Karena mereka bukan manusia, Sunan Kalijaga keberatan. Namun sebagai balas jasa, kera-kera itu mendapat anugerah kawasan hutan di sekitar gua. Mereka diberi kewenangan ngreho (bahasa Jawa) yang berarti ”memihara” atau ”menjaga”. Dari kata ngreho itulah nama Gua Kreo berasal, dan sejak itu kera-kera yang menghuni kawasan ini dianggap sebagai pemelihara atau penjaga.

Sampai sekarang, Gua Kreo yang terletak di lereng Bukit Kreo, termasuk objek paling favorit yang didatangi pengunjung. Menurut Karyadi, kedalaman gua mencapai 25 meter. Sekitar 10 meter di sebelah kanan Gua Kreo, ada lagi sebuah gua bernama Gua Landak.

Asal Usul Goa Kreo Semarang

”Gua Landak kedalamannya 30 meter. Tapi gua ini dibuat oleh pengelola Gua Kreo, bukan petilasan Sunan Kalijaga,” kata Karyadi. Bagi pengunjung yang punya nyali, banyak yang berani memasuki kedua gua itu hanya untuk berfoto-ria. Selanjutnya, kami melacak petilasan Sunan Kalijaga ke puncak Bukit Kreo yang berketinggian 350 meter di atas permukaan laut. Di situ terdapat monumen batu.

Monumen ini dibangun untuk menandai petilasan Sunan Kalijaga saat dia bersama sahabat-sahabatnya dan empat kera yang membantu, mengadakan acara selamatan dengan makan bersama, sebagai rasa syukur mereka telah berhasil mengambil kayu jati dari tempat yang sulit. Lauknya adalah sate kambing.

Seusai makan, tusuk-tusuk sate itu dibuang ke tanah hingga terdengar suara gemerincing. Tempat dibuangnya tusuk sate itu kemudian tumbuh serumpun bambu yang dinamakan bambu kerincing. Ajaibnya, batang bambu itu ketika dipatahkan tercium aroma daging kambing.

Sejarah Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu di Jawa Timur. Kerajaan ini termasuk kerajaan kuno di Indonesia yang berdiri pada tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya (1293 M). Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-14 yaitu pada masa kekuasaan Hayam Wuruk (1350-1389 M) yang didampingi oleh Patih Gadjah Mada (1331-1364 M). Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu terakhir di Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Majapahit menguasai kerajaan-kerajaan lainnya di Semenanjung Malaya, Borneo, Sumatera, Bali, dan Filipina. Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan untuk membuktikan keberadaan Majapahit adalah Pararaton ("Kitab Raja-Raja") dalam bahasa Kawi dan Nagarakertagama dalam bahasa Jawa Kuno. Pararaton banyak menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari negeri Tiongkok dan negara-negara lain.

Asal Mula Berdirinya Majapahit
Asal mula Kerajaan Majapahit diceritakan bahwa sesudah Singasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290, Singasari menjadi kerajaan paling kuat di wilayah tersebut. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, seorang penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan bernama Meng Chi ke Singasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singasari yang terakhir, menolak untuk membayar upeti dan merusak wajah utusan tersebut serta memotong telinganya. Kublai Khan pun marah lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa pada tahun 1293 M. Ketika itu, Jayakatwang, Adipati Kediri, membunuh Kertanagara. Atas saran dan Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi Hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru yang diberi nama Majapahit. Nama itu diambil dan “buah maja” dan “rasa pahit” dan buah tersebut. Ketika pasukan Mongolia tiba, Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongolia untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka untuk menanik pulang pasukannya karena mereka berada di wilayah asing. Tanggal kelahiran kerajaan Majapahit pada tanggal 10 November 1293 adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana.

Asal Usul Kota Bandung Jawa Barat
Kerajaan Majapahit
Sumber: https://www.google.com/

Masa Awal Kerajaan Majapahit
Kerajaan ini menghadapi banyak masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meski pemberontakan tersebut tidak berhasil. Namun ternyata Mahapatih Halayudha-lah yang melakukan konspirasi (persekongkolan) untuk menjatuhkan semua orang terpercaya raja. Hal itu ia lakukan agar dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemenintahan. Namun, setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha dltangkap dan dipenjara, lalu dihukum mati. Raden Wijaya meninggal pada tahun 1309 M. Anak dan penerus Raden Wijaya, Jayanegara adalah penguasa yang jahat dan tidak bermoral. Ia memiliki nama kecil Kala Gemet, yang berarti “penjahat lemah”, Tahun 1328 M. Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dan istana dan menjadi pendeta wanita. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi Ratu Majapahit. Selama kekuasaan Tnibhuwana, Kerajaan Majapahit berkembang menjadi Iebih besar dan terkenal. Tribhuwana menguasai Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350 M. Kepemimpinannya pun dilanjutkan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Baca juga : Sejarah Kerajaan Banten

Masa Keemasan Kerajaan Majapahit
Hayam Wuruk, juga disebut sebagai Rajasanagara. Ia memerintah Majapahit dan tahun 1350-1389 M. Majapahit mencapal puncak kejayaannya dengan bantuan Mahapatihnya, Gadjah Mada. Di bawah perintah Gadjah Mada (1313-1364 M), Majapahit menguasai Iebih banyak wilayah. Pada tahun 1377 M, beberapa tahun setelah kematian Gadjah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang, menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Selain Gadjah Mada, Majapahit juga memiliki jendral yang juga terkenal bernama Adityawarman. Ia terkenal karena penaklukkannya di Minangkabau. Menurut Kakawin Nagarakertagama Pupuh Xlll-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian Kepulauan Filipina. Namun, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tidak berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.

Keruntuhan Kerajaan Majapahit
Kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah ketika terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406 M, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Terjadi pula pergantian raja yang diperdebatkan pada tahun 1450-an dan pemberontakan besar oleh seorang bangsawan pada 1468 M. Kerajaan Majapahit berakhir pada tahun 1400 Saka atau 1478 M. Hal ini tampak pada candrasengkala (penanda tahun) yang berbunyi “sirna ilang kertaning bumi” yang berarti “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Pada tahun tersebut digambarkan gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana. Kemunduran Kerajaan Majapahit terjadi pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15. Pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan Islam berdiri yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul dibagian barat Nusantara. Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis, dan Italia menjelaskan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dan Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.

Raja-raja Kerajaan Majapahit
  1. Raden Wijaya bergelar Kertarajasa Jayawardhana memerintah tahun 1293 - 1309
  2. Kalagamet bergelar Sri Jayanagara memrintah tahun 1309 - 1328
  3. Sri Gitarja bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi memerintah tahun 1328 - 1350
  4. Hayam Wuruk bergelar Sri Rajasanagara memerintah tahun 1350 - 1389
  5. Wikramawardhana memerintah tahun 1389 - 1429
  6. Suhita bergelar Dyah Ayu Kencana Wungu memerintah tahun 1429 - 1447
  7. Kertawijaya bergelar Brawijaya I memerintah tahun 1447 - 1451
  8. Rajasawardhana Brawijaya II memerintah tahun 1451 - 1453
  9. Purwawisesa atau Girishawardhana bergelar Brawijaya III memerintah tahun 1456 - 1466
  10. Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa bergelar Brawijaya IV memerintah tahun 1466 - 1468
  11. Bhre Kertabumi bergelar Brawijaya V memerintah tahun 1468 - 1478
  12. Girindrawardhana bergelar Brawijaya VI memerintah tahun 1478 - 1498
  13. Patih Udara memerintah tahun 1498 - 1518
Benda-benda Peninggalan Kerajaan Majapahit
  1. Candi Wringin Lawang
  2. Candi Brahu
  3. Candi Tikus
  4. Gapura Bajang Ratu
  5. Kolam Segaran
  6. Makam Putri Campa
  7. Candi Joltundo
  8. Kitab Negarakertagama
  9. Kitab Sutasoma
  10. Kitab Arjunawiwaha
  11. Kitab Kunjarakarna dan Parthayajna
  12. Kitab Pararaton
Demikian pembahasan tentang Sejarah Kerajaan Majapahit. Semoga bermanfaat bagi pembaca semua.

Selasa, 17 Februari 2015

Sejarah Kerajaan Banten

Berdirinya Kerajaan Benten Menurut catatan sejarah, banyak yang menganggap Raja Hasanuddin adalah pendiri kerajaan Banten. Hasanuddin adalah putra dari Fatahillah atau Sunan Gunung Jati, utusan Raja Demak, yang berhasil menyebarkan agama Islam di kawasan Banten. Hasanuddin kawin dengan seorang putri Demak, putri dari Sultan Trenggana, pada 1552 M.

Dari perkawinan itu, lahirlah 2 orang putra yaitu Maulana Yusuf dan Pangeran Jepara, dinamakan Pangeran Jepara karena beliau menjadi menantu penguasa Jepara Ratu Kali Nyamat.

Ekspansi Banten di bawah pimpinan Hasanuddin, juga dikenal dalam tradisi rakyat sebagai Pangeran Saba Kingking, yang telah berhasil mencapai Lampung sebuah daerah penghasil Lada yang penting pada masa itu.
Sepeninggal Hasanuddin, sekitar tahun 1570. beliau digantikan oleh Maulana Yusuf yang meneruskan politik ekspansinya dan yang menjadi sasarannya adalah Kerajaan Pakuan Pajajaran. Meskipun tradisi rakyat menyebutkan bahwa Hasanuddin adalah penakluknya, namun sejarah mengatakan bahwa Maulana Yusuflah yang menaklukkannya. Konon, menurut cerita rakyat yang beredar, Raja Pajajaran beserta keluarga tiba-tiba menghilang ketika kraton jatuh ke pasukan Banten.

Sejarah Kerajaan Banten
Kerajaan Banten
Sumber: https://www.google.com/

Tahtah Kerajaan Banten menjadi perebutan semasa meninggalnya Maulana Yusus pada 1580.Putra beliau Maulana Mohammad belum dewasa sehingga Pangeran Jepara merasa berhak untuk menaiki tahta. Dengan angkatan Lautnya pangeran Jepara menyerang Banten namun mereka berhasil dikalahkan. Karena Maulana Mohammad mendapat dukungan penuh dari para pemimpin agama.

Semasa Maulana Mohammad, Banten tetap mengarahkan ekspansinya. kali ini adalah ke Palembang. Antara lain atas dorongan seorang pelarian dari Demak, yaitu Pangeran mas. Ekspedisi itu akhirnya mengalami kegagalan. Bahkan Maulana Mohammad pun gugur dalam ekspedisi itu.

Baca juga : Sejarah Kerajaan Majapahit

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Banten.
Kehidupan ekonomi kerajaan ini berkembang pesat dibawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masanya Banten menjadi pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam yang cukup besar. Kejayaan ekonomi kerajaan ini juga dipengaruhi oleh letaknya yang sangat strategis dalam jalur perdagangan terutama setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Selain itu melimpahnya bahan ekspor rempah yang sangat penting juga membuat Banten semakin Berjaya, dan banyak disinggahi oleh pedagang Asia bahkan pedagang Eropa. Sehingga menjadikan Banten menjadi salah satu kota yang cukup maju di dunia pada saat itu..
.
Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Banten.
Setelah ditaklukkan oleh Fatahillah, kehidupan masyarakat Banten yang awalnya menganut kepercayaan Hindu berangsur-angsur beralih menganut ajaran agama Islam. Dan pengaruh dari ajaran Islam serta kehidupan sosial masyarakat Banten semakin meluas sejak pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Meski demikian ada pula yang menolak ajaran ini dan memilih untuk mempertahankan ajaran lamanya, dan kini mereka dikenal sebagai suku Badui. Untuk melihat bukti kehidupan sosial dan budayanya anda dapat melihat bangunan-bangunan peninggalan sejarah seperti bangunan Masjid Agung Banten, atau bangunan gapura-gapura yang dibangun di Kaibon Banten serta istana Banten yang struktur bangunannya menyerupai bangunan istana di Eropa. Namun kehidupan sosial masyarakat Banten menurun sejak wafatnya Sultan Ageng Tirtayasa..
.
Pada akhir pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa banyak terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh anaknya sendiri yakni Sultan Haji yang didukung oleh VOC. Dan pada pemerintahan Sultan Haji kejayaan Kesultanan Banten mulai menurun akibat pengaruh VOC yang semakin meluas, terlebih setelah wafatnya Sultan Haji, seluruh pemerintahan Banten diambil alih oleh VOC..

Terbentuknya Provinsi Banten.
Pada bulan Oktober tahun 2000, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Banten yang menandai pembentukan Provinsi Jawa Barat yang selama ini menjadi induk bagi Daerah Banten.

Ibu Kota
Walaupun bernama sama, Kota Banten bukanlah ibukota dari provinsi Banten. Kota yang menjadi ibu kota Provinsi Banten adalah Serang

Asal Usul Desa Gubug Grobogan

Gubug adalah sebuah kecamatan dengan jumlah desa 21 yang ada di Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Tegowanu dan Tanggungharjo. Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Tanggungharjo dan Kedungjati. Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Godong dan Karangrayung. Serta di utara berbatasan dengan kecamatan Kebonagung, Kabupaten Demak dan Wonosalam Mata pencaharian penduduk mayoritas adalah sebagai petani padi dengan musim tanam maksimal 2 kali setahun. Sistem pengairan 45% adalah sistem tadah hujan, sedangkan pengairan diperoleh dari sungai Tuntang yang bermata air di Ambarawa.

Gubug merupakan kota terbesar kedua di Kabupaten Grobogan setelah ibukota kabupaten, Purwodadi. Gubug berada pada jalur pantai utara Jawa Tengah poros tengah yang menghubungkan kota Semarang dengan Purwodadi. Kecamatan ini dilintasi jalur kereta api yang menghubungkan Semarang - Cepu - Surabaya serta terletak di antara kota Semarang - Purwodadi - Demak

Asal Usul Desa Gubug Grobogan
Kantor Camat Gubug
Sumber: https://www.google.com/

Di kota kecamatan, Gubug kecamatan Termaju di bandingkan kecamatan lain di Grobogan, perekonomian pertokoan minimarket banyak dan jalan nya selalu rame padat.

Lokasi Desa/Kecamatan Gubug berada di jalan Raya Semarang-Purwodadi. Kecamatan ini merupakan kecamatan nomor dua dari barat setelah Kecamatan Tegowanu.

Desa/Kecamatan Gubug menjadi salah satu sentra industri dan pertanian di Kabupaten Grobogan. Di wilayah ini berdiri beberapa pabrik, pertanian juga berkembang yang menjadikannya salah satu mata pencaharian utama masyarakat setempat.

Sejarah Gubug
Masyarakat Grobogan, lebih akrab menyebut Gubug dengan ejaan Nggubug. Hal ini lantaran kebiasaan lama yang kerap menambahkan Ng saat menyebut apapun yang berawalan dengan G.

Penamaan Gubug bukanlah sesuatu yang tiba-tiba, melainkan memiliki sejarahnya sendiri. Secara bahasa, Gubug memiliki arti Rumah Kecil. Konon pada masa kerajaan, diperintahkanlah untuk membuka hutan untuk dijadikan pemukiman di wilayah Gubug.

Berdasarkan data yang dapat dihimpun Redaksi Direktori Grobogan, wilayah Gubug dahulunya merupakan kawasan hutan yang sangat lebat.

Berbagai macam tumbuhan termasuk pohon-pohon di dalam hutan ditebangi. Di tengah aktivitasnya membuka lahan hutan, tiba-tiba ditemukannya du buah Gubug (rumah kecil) di dalam hutan.
Hal ini membuat bingung banyak orang, sebab hampir tak mungkin di dalam belantara hutan sudah ada rumahnya. Sejak saat itulah wilayah tersebut disebut Gubug.

Cerita tersebut nampaknya cukup beralasan, sebab di wilayah Gubug (terutama di bagian selatan) masih banyak ditemui pohon-pohon besar khas hutan.

Kodisi Geografis Gubug
Gubug memiliki geografis datar, kondisi ini sangat cocok untuk pertanian. Lokasi Gubug berada sekitar 30 KM dari pusat Kota Purwodadi Grobogan.

Sebagai sebuah kecamatan, terdapat 21 desa yang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Gubug. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Tegowanu di sebelah barat, Kedungjati di selatan, Godong di timur dan Kabupaten Demak di sebelah utara.

Berikut Desa yang ada di Kecamatan Gubug :
  1. Baturagung
  2. Gelapan
  3. Ginggangtani
  4. Gubug
  5. Jatipecaron
  6. Jeketro
  7. Kemiri
  8. Kunjeng
  9. Kuwaron
  10. Mlilir
  11. Ngroto
  12. Papanrejo
  13. Penadaran
  14. Pranten
  15. Ringinharjo
  16. Ringinkidul
  17. Rowosari
  18. Saban
  19. Tambakan
  20. Tlogomulyo
  21. Trisari
Lantaran menjadi pusat pemerintahan tingkat kecamatan, di Gubug berdiri berbagai macam perkantoran baik negeri maupun swasta. Selain itu, karena menjadi pusat perekonomian, di tempat ini juga berdiri banyak swalayan dan juga terdapat sebuah pasar besar yang dinamakan Pasar Umum Gubug.

Berbagai sarana prasana juga terdapat di Gubug, seperti sekolah-sekolah, masjid raya, Puskesmas hingga terminal kendaraan lintas provinsi.

Itulah gambaran singkat mengenai Sejarah Gubug, Dua Rumah Kecil di Hutan Belantara. Semoga dapat menambah wawasan tentang kedaerahan untuk warga Grobogan dan khususnya Gubug sendiri.

Senin, 16 Februari 2015

Asal Usul Desa Godong Grobogan

Godong adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.

Desa/Kecamatan Godong menjadi kecamatan dengan jumlah desa terbanyak di Grobogan. Total terdapat 28 desa yang masuk dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Godong.
  1. Anggaswangi
  2. Bringin
  3. Bugel
  4. Dorolegi
  5. Godong
  6. Guci
  7. Gundi
  8. Guyangan
  9. Harjowinangun
  10. Jatilor
  11. Karanggeneng
  12. Kemloko
  13. Ketangirejo
  14. Ketitang
  15. Klampok
  16. Kopek
  17. Latak
  18. Manggarmas
  19. Manggarwetan
  20. Pahesan
  21. Rajek
  22. Sambung
  23. Sumberagung
  24. Sumurgede
  25. Tinanding
  26. Ungu
  27. Wanutunggal
  28. Werdoyo
Wilayah Kecamatan Godong dikenal juga sebagai salah satu lokasi perindustrian di Grobogan. Setidaknya terdapat 3 pabrik yang berdiri di wilayah Kecamatan Godong. Tentu hal ini menjadi salah satu peluang kerja yang terbuka bagi penduduk setempat.

Asal Usul Desa Godong Grobogan
Ketika menyebut Godong tentu para warga Grobogan langsung mengerti artinya. Ya, dalam bahasa jawa Godong berarti Daun. Namun, tahukah anda mengapa wilayah tersebut bisa dinamakan Godong?
Resaksi Direktori Grobogan telah mencari beberapa sumber sejarah dan wawancara dengan beberapa orang untuk mengenai asal-usul nama Desa Godong.

Berdasarkan Data Rupabumi Wilayah Administrasi Desa-Kelurahan Kabupaten Grobogan Tahun 2012 dapat diketahui, Penamaan Godong sudah ada sejak abad ke 18 Masehi. Ketika itu kekuasaan terbesar nusantara berada dalam pimpinan Kerajaan Majapahit.

Pada suatu Pasowanan Kerajaan Majapahit terdapat salah satu Adipati yang tak hadir. Karena ketidakhadirannya, sang raja mengutus dua putrinya yang bernama Mayangsari dan Mekarsari untuk menemui Adipati tersebut.

Selama perjalanan, kedua putri sang raja dikawal seorang Cantrik dan Kamdowo. Namun perjalanan mereka tak berjalan mulus. Di tengah perjalanan, sang cantrik justru menaruh hati pada kedua putri tersebut. Mereka dipaksa untuk menikahi sang cantrik.

Sayangnya, cinta Cantrik kepada kedua putri kerajaan bertepuk sebelah tangan. Mayangsari dan Mekarsari menolak menikah dengan Cantrik. Keduanya memilih bunuh diri dan akhirnya dimakamkan di bawah pohon yang berdaun rimbun atau dalam bahasa jawa disebeut Wi Godong Ketel.

Akibat peristiwa tersebut, wilayah pemakaman Mayangsari dan Mekarsari dinamakan Godong atau yang sekarang dikenal dengan Kecamatan Godong.

Kendati terbentuknya nama Desa Godong berhubungan dengan pemakaman dua orang putri, namun saat ini dua makam tersebut belum jelas lokasinya. Tentu semua itu butuh kajian dan penelitian lebih mendalam dari para ahli.

Asal Usul Desa Godong Grobogan
Kantor Camat Godong
Sumber: https://www.google.com/maps

Kondisi Geografis dan Sosial Desa Godong

Desa Godong merupakan wilayah pusat ekonomi warga di wilayah Kecamatan Godong. Maka tak heran jika masyarakat setempat mempunyai profesi utama sebagai pedagang.

Hal ini tak mengherankan, mengingat di wilayah ini terdapat sebuah pasar induk yang bernama Pasar Umum Godong. Pasar Godong menjadi sentra perdagangan, bukan hanya di kecamatan saja melainkan juga dengan masyarakat Kabupaten Demak. Sebab lokasi keduanya berdekatan (hanya berbeda sisi jalan).

Sebagai sentra perekonomian, pembangunan di Desa Godong dapat dibilang cepat. Berbagai perkantoran (Dinas ataupun Swasta) berdiri di wilayah ini, pusat perbelanjaan hingga sekolah-sekolah juga banyak dijumpai di Godong.

Obyek Wisata
Di sisi barat wilayah kecamatan ini, tepatnya di desa Manggarmasdapat ditemukan sumur yang menyemburkan api yang tak pernah padam, tempat tersebut dinamakan api abadi Mrapen. Umat Buddha selalu mengambil api ini untuk menyalakan obor yang dibawa dalam parade menyambut perayaan Waisak.

Itulah sekilah mengenai Asal Usul Desa Godong Grobogan. Memang untuk menguji kebenaran sejarah penamaan Desa Godong butuh kajian mendalam. Namun, melalui tulisan ini diharapkan memberi prespektif untuk mengerti sejarah penamaan Desa Godong.

Sejarah Pulau Jawa

Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk sekitar 136 juta. Pulau ini berpenduduk terbanyak di dunia dan merupakan salah satu wilayah terpadat di dunia. Jawa dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Ibu kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian barat. Banyak sejarah Indonesia berlangsung di pulau ini. Dahulu, Jawa adalah pusat beberapa kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pulau ini berdampak besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.

Jawa adalah pulau yang sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik, merupakan pulau ketiga belas terbesar di dunia, dan terbesar kelima di Indonesia. Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini. Terdapat tiga bahasa utama di pulau ini, namun mayoritas penduduk menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu dari 60 juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya berdiam di pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah bilingual, yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun kedua. Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim, namun terdapat beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini.

Asal Usul Desa Gubug Grobogan
Pulau Jawa
Sumber: https://www.google.com/

Pulau ini secara administratif terbagi menjadi empat provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten; serta dua wilayah khusus, yaitu DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.

Asal mula nama ‘Jawa’ tidak jelas. Salah satu kemungkinan adalah nama pulau ini berasal dari tanaman jáwa-wut, yang banyak ditemukan di pulau ini pada masa purbakala, sebelum masuknya pengaruh India pulau ini mungkin memiliki banyak nama. Ada pula dugaan bahwa pulau ini berasal dari kata jaú yang berarti “jauh”. Dalam Bahasa Sanskerta yava berarti tanaman jelai, sebuah tanaman yang membuat pulau ini terkenal. Yawadvipa disebut dalam epik India Ramayana. Sugriwa, panglima wanara (manusia kera) dari pasukan Sri Rama, mengirimkan utusannya ke Yawadvipa (pulau Jawa) untuk mencari Dewi Shinta. Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut dengan nama Sanskerta yāvaka dvīpa (dvīpa = pulau). Dugaan lain ialah bahwa kata “Jawa” berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, yang berarti ‘rumah

Pulau ini merupakan bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan paparan Sunda, yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil Homo erectus, yang populer dijuluki “Si Manusia Jawa”, ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau. Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan di pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja batu, dan piramida berundak yang lazim disebut Punden Berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus. Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Pada abad ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M Kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat. Kebudayaan protosejarah ini merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara.

Pulau Jawa yang sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi di lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya tingkat kerjasama antar desa yang semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya yang membentang di sepanjang pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari pengaruh luar. Di masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta kedatangan kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan sarana perhubungan utama masyarakat, meskipun kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang dapat menjadi sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai tersebut terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar.

Diperkirakan suatu sistem perhubungan yang terdiri dari jaringan jalan, jembatan permanen, serta pos pungutan cukai telah terbentuk di pulau Jawa setidaknya pada pertengahan abad ke-17. Para penguasa lokal memiliki kekuasaan atas rute-rute tersebut, musim hujan yang lebat dapat pula mengganggu perjalanan, dan demikian pula penggunakan jalan-jalan sangat tergantung pada pemeliharaan yang terus-menerus. Dapatlah dikatakan bahwa perhubungan antarpenduduk pulau Jawa pada masa itu adalah sulit.

Masa Kerajaan Hindu-Buddha

Kerajaan Taruma dan Kerajaan Sunda muncul di Jawa Barat, masing-masing pada abad ke-4 dan ke-7, sedangkan Kerajaan Medang adalah kerajaan besar pertama yang berdiri di Jawa Tengah pada awal abad ke-8. Kerajaan Medang menganut agama Hindu dan memuja Dewa Siwa, dan kerajaan ini membangun beberapa candi Hindu yang terawal di Jawa yang terletak di Dataran Tinggi Dieng. Di Dataran Kedu pada abad ke-8 berkembang Wangsa Sailendra, yang merupakan pelindung agama Buddha Mahayana. Kerajaan mereka membangun berbagai candi pada abad ke-9, antara lain Borobudur dan Prambanan di Jawa Tengah.

Sekitar abad ke-10, pusat kekuasaan bergeser dari tengah ke timur pulau Jawa. Di wilayah timur berdirilah kerajaan-kerajaan Kadiri, Singhasari, dan Majapahit yang terutama mengandalkan pada pertanian padi, namun juga mengembangkan perdagangan antar kepulauan Indonesia beserta Cina dan India.

Raden Wijaya mendirikan Majapahit, dan kekuasaannya mencapai puncaknya di masa pemerintahan Hayam Wuruk (m. 1350-1389). Kerajaan mengklaim kedaulatan atas seluruh kepulauan Indonesia, meskipun kontrol langsung cenderung terbatas pada Jawa, Bali, dan Madura saja. Gajah Mada adalah mahapatih di masa Hayam Wuruk, yang memimpin banyak penaklukan teritorial bagi kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Jawa sebelumnya mendasarkan kekuasaan mereka pada pertanian, namun Majapahit berhasil menguasai pelabuhan dan jalur pelayaran sehingga menjadi kerajaan komersial pertama di Jawa. Majapahit mengalami kemunduran seiring dengan wafatnya Hayam Wuruk dan mulai masuknya agama Islam ke Indonesia.

Masa Kerajaan Islam

Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui Hindu dan Buddha sebagai agama dominan di Jawa, melalui dakwah yang terlebih dahulu dijalankan kepada kaum penguasa pulau ini. Dalam masa ini, kerajaan-kerajaan Islam Demak, Cirebon, dan Banten membangun kekuasaannya. Kesultanan Mataram pada akhir abad ke-16 tumbuh menjadi kekuatan yang dominan dari bagian tengah dan timur Jawa. Para penguasa Surabaya dan Cirebon berhasil ditundukkan di bawah kekuasaan Mataram, sehingga hanya Mataram dan Banten lah yang kemudian tersisa ketika datangnya bangsa Belanda pada abad ke-17.

Masa Kolonial

Hubungan Jawa dengan kekuatan-kekuatan kolonial Eropa dimulai pada tahun 1522, dengan diadakannya perjanjian antara Kerajaan Sunda dan Portugis di Malaka. Setelah kegagalan perjanjian tersebut, kehadiran Portugis selanjutnya hanya terbatas di Malaka dan di pulau-pulau sebelah timur nusantara saja. Sebuah ekspedisi di bawah pimpinan Cornelis de Houtman yang terdiri dari empat buah kapal pada tahun 1596, menjadi awal dari hubungan antara Belanda dan Indonesia. Pada akhir abad ke-18, Belanda telah berhasil memperluas pengaruh mereka terhadap kesultanan-kesultanan di pedalaman pulau Jawa (lihat Perusahaan Hindia Timur Belanda di Indonesia). Meskipun orang-orang Jawa adalah pejuang yang pemberani, konflik internal telah menghalangi mereka membentuk aliansi yang efektif dalam melawan Belanda. Sisa-sisa Mataram bertahan sebagai Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Para raja Jawa mengklaim berkuasa atas kehendak Tuhan, dan Belanda mendukung sisa-sisa aristokrasi Jawa tersebut dengan cara mengukuhkan kedudukan mereka sebagai penguasa wilayah atau bupati dalam lingkup administrasi kolonial.

Di awal masa kolonial, Jawa memegang peranan utama sebagai daerah penghasil beras. Pulau-pulau penghasil rempah-rempah, misalnya kepulauan Banda, secara teratur mendatangkan beras dari Jawa untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Inggris sempat menaklukkan Jawa pada tahun 1811. Jawa kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Britania Raya, dengan Sir Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderalnya. Pada tahun 1814, Inggris mengembalikan Jawa kepada Belanda sebagaimana ketentuan pada Traktat Paris.

Penduduk pulau Jawa kemungkinan sudah mencapai 5 juta orang pada tahun 1815. Pada paruh kedua abad ke-18, mulai terjadi lonjakan jumlah penduduk di kadipaten-kadipaten sepanjang pantai utara Jawa bagian tengah, dan dalam abad ke-19 seluruh pulau mengalami pertumbuhan populasi yang cepat. Berbagai faktor penyebab pertumbuhan penduduk yang besar antara lain termasuk peranan pemerintahan kolonial Belanda, yaitu dalam menetapkan berakhirnya perang saudara di Jawa, meningkatkan luas area persawahan, serta mengenalkan tanaman pangan lainnya seperti singkong dan jagung yang dapat mendukung ketahanan pangan bagi populasi yang tidak mampu membeli beras. Pendapat lainnya menyatakan bahwa meningkatnya beban pajak dan semakin meluasnya perekutan kerja di bawah Sistem Tanam Paksa menyebabkan para pasangan berusaha memiliki lebih banyak anak dengan harapan dapat meningkatkan jumlah anggota keluarga yang dapat menolong membayar pajak dan mencari nafkah. Pada tahun 1820, terjadi wabah kolera di Jawa dengan korban 100.000 jiwa.

Kehadiran truk dan kereta api sebagai sarana transportasi bagi masyarakat yang sebelumnya hanya menggunakan kereta dan kerbau, penggunaan sistem telegraf, dan sistem distribusi yang lebih teratur di bawah pemerintahan kolonial; semuanya turut mendukung terhapusnya kelaparan di Jawa, yang pada gilirannya meningkatkan pertumbuhan penduduk. Tidak terjadi bencana kelaparan yang berarti di Jawa semenjak tahun 1840-an hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1940-an. Selain itu, menurunnya usia awal pernikahan selama abad ke-19, menyebabkan bertambahnya jumlah tahun di mana seorang perempuan dapat mengurus anak.

Masa Kemerdekaan

Nasionalisme Indonesia mulai tumbuh di Jawa pada awal abad ke-20 , dan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan setelah Perang Dunia II juga berpusat di Jawa. Kudeta G 30 S PKI yang gagal dan kekerasan anti-komunis selanjutnya pada tahun 1965-66 sebagian besar terjadi di pulau ini. Jawa saat ini mendominasi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia, yang berpotensi menjadi sumber kecemburuan sosial. Pada tahun 1998 terjadi kerusuhan besar yang menimpa etnis Tionghoa-Indonesia, yang merupakan salah satu dari berbagai kerusuhan berdarah yang terjadi tidak berapa lama sebelum runtuhnya pemerintahan Presiden Soeharto yang telah berjalan selama 32 tahun.

Pada tahun 2006, Gunung Merapi meletus dan diikuti oleh gempa bumi yang melanda Yogyakarta. Jawa juga sempat terkena sedikit dampak wabah flu burung, serta merupakan lokasi bencana semburan lumpur panas Sidoarjo.

Geografi

Jawa bertetangga dengan Sumatera di sebelah barat, Bali di timur, Kalimantan di utara, dan Pulau Natal di selatan. Pulau Jawa merupakan pulau ke-13 terbesar di dunia. Perairan yang mengelilingi pulau ini ialah Laut Jawa di utara, Selat Sunda di barat, Samudera Hindia di selatan, serta Selat Bali dan Selat Madura di timur.

Jawa memiliki luas sekitar 139.000 km2. Sungai yang terpanjang ialah Bengawan Solo, yaitu sepanjang 600 km. Sungai ini bersumber di Jawa bagian tengah, tepatnya di gunung berapi Lawu. Aliran sungai kemudian mengalir ke arah utara dan timur, menuju muaranya di Laut Jawa di dekat kota Surabaya.

Hampir keseluruhan wilayah Jawa pernah memperoleh dampak dari aktivitas gunung berapi. Terdapat tiga puluh delapan gunung yang terbentang dari timur ke barat pulau ini, yang kesemuanya pada waktu tertentu pernah menjadi gunung berapi aktif. Gunung berapi tertinggi di Jawa adalah Gunung Semeru (3.676 m), sedangkan gunung berapi paling aktif di Jawa dan bahkan di Indonesia adalah Gunung Merapi (2.968 m) serta gunung kelud (1.731 m). Gunung-gunung dan dataran tinggi yang berjarak berjauhan membantu wilayah pedalaman terbagi menjadi beberapa daerah yang relatif terisolasi dan cocok untuk persawahan lahan basah. Lahan persawahan padi di Jawa adalah salah satu yang tersubur di dunia. Jawa adalah tempat pertama penanaman kopi di Indonesia, yaitu sejak tahun 1699. Kini, kopi arabika banyak ditanam di Dataran Tinggi Ijen baik oleh para petani kecil maupun oleh perkebunan-perkebunan besar.

Suhu rata-rata sepanjang tahun adalah antara 22 °C sampai 29 °C, dengan kelembaban rata-rata 75%. Daerah pantai utara biasanya lebih panas, dengan rata-rata 34 °C pada siang hari di musim kemarau. Daerah pantai selatan umumnya lebih sejuk daripada pantai utara, dan daerah dataran tinggi di pedalaman lebih sejuk lagi. Musim hujan berawal pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan April, di mana hujan biasanya turun di sore hari, dan pada bulan-bulan selainnya hujan biasanya hanya turun sebentar-sebentar saja. Curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada bulan-bulan bulan Januari dan Februari.

Jawa Barat bercurah hujan lebih tinggi daripada Jawa Timur, dan daerah pegunungannya menerima curah hujan lebih tinggi lagi. Curah hujan di Dataran Tinggi Parahyangan di Jawa Barat mencapai lebih dari 4.000 mm per tahun, sedangkan di pantai utara Jawa Timur hanya 900 mm per tahun.

Sumber: https://indonesiakitakaya.wordpress.com/

Minggu, 15 Februari 2015

Sejarah Cerita Garuda Wisnu Kencana

Patung Garuda Wisnu Kencana berlokasi di Bukit Unggasan, Jimbaran, Bali. Patung ini berdiri menjulang di dalam kompleks Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana dan merupakan karya pematung terkenal Bali, I Nyoman Nuarta. Monumen ini dikembangkan sebagai taman budaya dan menjadi ikon bagi pariwisata Bali dan Indonesia.

Patung tersebut berwujud Dewa Wisnu yang dalam agama Hindu adalah Dewa Pemelihara (Sthiti), mengendarai burung Garuda. Tokoh Garuda dapat dilihat di kisah Garuda & Kerajaannya yang berkisah mengenai rasa bakti dan pengorbanan burung Garuda untuk menyelamatkan ibunya dari perbudakan yang akhirnya dilindungi oleh Dewa Wisnu.

Patung ini diproyeksikan untuk mengikat tata ruang dengan jarak pandang sampai dengan 20 km sehingga dapat terlihat dari Kuta, Sanur, Nusa Dua hingga Tanah Lot. Patung Garuda Wisnu Kencana ini merupakan simbol dari misi penyelamatan lingkungan dan dunia. Patung ini terbuat dari campuran tembaga dan baja seberat 4.000 ton, dengan tinggi 75 meter dan lebar 60 meter. Jika pembangunannya selesai, patung ini akan menjadi patung terbesar di dunia dan mengalahkan Patung Liberty.

Sejarah Cerita Garuda Wisnu Kencana
Garuda Wisnu Kencana
Sumber: https://www.google.com/

Sejarah Cerita Garuda Wisnu Kencana
Tangan Dewa Wisnu
Sumber: https://www.google.com/

Sejarah Cerita Garuda Wisnu Kencana
Plaza Garuda
Sumber: https://www.google.com/

Sejarah Cerita Garuda Wisnu Kencana
Plaza Garuda
Sumber: https://www.google.com/

GWK (Garuda Wisnu Kencana) memiliki arti Garuda yang digunakan sebagai tunggangan oleh Dewa Wisnu. Garuda juga kita ketahui juga digunakan sebagai lambang negara kita Negara Indonesia.

Dari berbagai jenis burung, lalu mengapa Burung Garuda digunakan sebagai lambang dari Negara Indonesia. Padahal banyak sekali jenis-jenis burung lainnya seperti burung elang, burung rajawali, burung kakak tua dan yang lainnya. Mengapa Burung Garuda dipilih sebagai lambang Negara yang besar dan megah ini?

Jawabannya sesuai dengan Cerita Garuda Wisnu Kencana yang akan kita bahas kali ini. Cerita Garuda Wisnu Kencana juga berkaitan dengan pembangunan landmark Garuda Wisnu Kencana (GWK) di bali. GWK yang belum rampung dibangun ini rencananya akan membuat patung Garuda Wisnu Kencana dengan tinggi sekitar 120 meter yang akan tercatat sebagai salah satu patung terbesar di dunia. Namun Pembangunannya tersendat karena masalah biaya tapi ada juga yang mengatakan kalau proyek ini dihentikan karena ketakutan ada terror Boom Bali. Namun sekarang (2013) proyek ini sudah dimulai kembali dengan menggandeng investor lokal dan diharapkan akan selesai pada akhir 2017 mendatang. Patung yang sebelumnya sudah dibangun 10 meter sampai 20 meter ini dibangun ulang setinggi 120 meter.

Sejarah Cerita Garuda Wisnu Kencana
New GWK (Garuda Wisnu Kencana)
Sumber: https://www.google.com/

Sejarah Cerita Garuda Wisnu Kencana GWK
Alkisah di sebuah negeri, tersebutlah seorang Rsi yang baik nan bijaksana. Rsi tersebut bernama Rsi Kasyapa. Beliau memiliki 2 orang istri yakni Kadru dan Winata. Rsi kasyapa selalu berbuat adil kepada kedua istrinya, walaupun begitu salah satu istrinya yaitu Kadru selalu menaruh rasa iri dan dengki kepada Winata. Kisah pun berlanjut, alkisah Kedua istri Rsi Kasyapa masing-masing dikaruniai momongan (anak). Kadru dikaruniai para Naga, sedangkan Winata dikaruniai seekor Burung Garuda. Kadru yang tetap memiliki rasa iri dan dengki terhadap Winata selalu melancarkan niat jahat agar Winata dapat keluar dari lingkaran keluarga Rsi Kasyapa.

Suatu ketika, Para Dewa mengaduk-aduk samudra untuk mendapatkan Tirtha Amartha. Tirtha (air) yang disebut-sebut dapat memberikan keabadian kepada siapapun yang dapat meminumnya walaupun hanya setetes. Bersamaan dengan kejadian itu, muncullah kuda terbang bernama Ucaihswara. Oleh karena Kadru yang selalu menaruh rasa dengki terhadapa Winata, Kadru kemudian menantang Winata untuk menebak warna Kuda Ucaihswara yang belum terlihat oleh mereka.
Winata kemudian menyanggupi tantangan dari Kadru dengan perjanjian, jika siapapun yang kalah harus bersedia menjadi budak dan selalu mentaati seluruh perintah dari yang menang. Kemudian Kadru menebak warna kuda itu berwarna hitam, dan Winata menebak warna kuda itu berwarna putih. Sebelum kuda itu muncul, secara diam-diam Kadru menerima informasi dari anaknya (naga) bahwa kuda itu sebenarnya berwarna putih.

Mengetahui bahwa dirinya akan kalah, maka Kadru berbuat licik dengan menyuruh anaknya untuk menyembur dengan racun tubuh kuda itu sehingga terlihat kehitaman. Benar saja kuda yang dulunya putih kemudian menjadi hitam setelah muncul dan dilihat oleh Kadru dan Winata. Karena Winata merasa dirinya telah kalah, maka ia bersedia menjadi budak Kadru selama hidupnya.

Mengetahui kelicikan Kadru, anak Winata yakni sang Garuda tidak tinggal diam. Dia kemudian bertarung dengan anak-anak Kadru yakni para Naga yang berlangsung tanpa henti siang dan malam. Keduanya berhasil menahan imbang disetiap pertarungan sampai akhirnya para Nagapun memberikan persyaratan bahwa dia akan membebaskan Winata dengan syarat sang Garuda dapat membawakan Tirtha Amartha kepada para Naga.

Sang Garuda menyanggupinya, dia bersedia mencari Tirtha Amertha yang tidak dia ketahui tempatnya agar dia dapat menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Di tengah petualangannya, sang Garuda bertemu dengan Dewa Wisnu yang membawa Tirtha Amertha. Garuda kemudian meminta Tirtha Amertha itu, Dewa Wisnu menyanggupinya dengan syarat agar Garuda mau menjadi tunggangan Dewa Wisnu yang kemudian disebut sebagai Garuda Wisnu Kencana.

Garuda kemudian mendapat tirtha amertha dengan berwadahkan kamendalu dengan tali rumput ilalang. Ia memberikan tirtha tersebut kepada para naga, namun sebelum para naga sempat meminumnya tirtha itu terlebih dahulu diambil oleh dewa indra yang kebetulan lewat. Namun tetesan tirtha amertha itu masih tertinggal di tali rumput ilalangnya. Naga kemudian menjilat rumput ilalang tersebut yang ternyata sangat tajam dan lebih tajam dari pisau. Oleh karena itu lidah naga menjadi terbelah menjadi 2 ujung yang kemudian disetiap keturunan naga itu juga memiliki lidah yang terbelah.

Kemudian ibu Winata berhasil dibebaskan dari jeratan perbudakan.
Begitulah akhir cerita dari Sejarah Cerita Garuda Wisnu Kencana. Lalu apa hubungan Garuda anak Winata dengan Garuda Lambang Negara Indonesia? Karena melihat filosofi di atas para petinggi yang membangun Negara Indonesia kemudian memilih Burung Garuda sebagai lambang Negara Indonesia karena melihat kegigihan Burung Garuda dalam berbakti kepada ibunya agar ibunya dapat lolos dari perbudakan. Garuda tersebut melambangkan kegigihan masyarakat pribumi (masyarakat indonesia) dalam memperjuangkan tanah Ibu pertiwi agar lolos dari perbudakan para penjajah kala itu.